Analisis Semiotik
Puisi “PADAMU JUA” Karya Amir Hamzah
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karya sastra adalah penuangan ide –
ide yang diimajinasikan menjadi teks yang memiliki nilai – nilai etika dan
estetika. Sehingga, orang yang menikmati karya sastra akan merasa berada dalam
lingkup kehidupan yang diciptakan karya sastra tersebut. Pengarang menyampaikan
permasalahan dan ide – ide melalui media bahasa dan tanda – tanda lain. Setiap
pengarang memiliki konvensi – konvensi (etika) yang berbeda dalam proses
kepengarangannya. Ada pengarang yang menitikberatkan simbolisasi pada tokoh,
penokohan, atau alur cerita tersebut, dan ada juga yang memberikan penekanan
simbolisasi pada judul karya sastra tersebut.
Analisis semiotik merupakan metode menganalisis karya sastra
sebagai sebuah struktur, pengkajian melalui tanda dan simbolisasi yang terdapat
dalam karya sastra. Dalam analisis semiotik, karya sastra dipandang sebagai
proses penuangan imajinasi pengarang. Sehingga, dalam analisis semiotik karya
sastra dikaitkan dengan pengarang, realita, pembaca dan hal – hal yang memiliki
keterkaitan dengan karya sastra tersebut.
Dalam analisis, Jan Mukarovsky
memberikan perumusan tentang aplikasi model semiotik, yaitu :
1.
menjelaskan kaitan antara pengarang, realitas, karya sastra dan pembaca.
2. menjelaskan karya sastra sebagai
sebuah struktur, berdasarkan unsur – unsur atau elemen yang
membentuknya.(Sukada, 1987:44)
Dalam analisis semiotik, seseorang
dapat memberikan makna yang berbeda. Hal ini dikarenakan dengan pengalaman dan
pengetahuan orang tersebut tentang tanda dan konvensi yang berlaku. Misalnya
saja kata “lari” yang ada dalam konteks yang sama dapat diberikan makna sebagai
kemajuan yang cepat atau revolusi, namun ada juga yang memberikan makna
perjuangan, tak bertanggung jawab, atau dapat pula makna lainnya sesuai dengan
konteks karya sastra tersebut.
Dalam karya tulis ini akan
dipaparkan mengenai analisis semiotik
sastra dan penerapannya pada puisi “Padamu Jua” karya Amir Hamzah. Puisi ini
lebih mudah dipahami karena menggunakan konvensi yang berlaku secara umum dan
dapat membantu pemahamn mengenai semiotik sastra.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka
permasalahan yang akan dibahas adalah:
1. Apa
yang dimaksud dengan semiotika?
2. Bagaimana
pendekatan semiotik dalam karya sastra?
3. Bagaimanakah
konvensi – konvensi untuk menelaah karya sastra dengan pendekatan semiotik?
4. Bagaimana
analisis puisi Padamu Jua karya Amir Hamzah dengan pendekatan semiotik?
1.3 Tujuan
Dari pokok permasalahan dalam karya ini, maka tujuan
penulisan adalah:
1. Mengetahui
apa yang dimaksud dengan semiotika.
2. Memahami
pendekatan semiotik dalam karya sastra.
3. Mengetahui
konvensi – konvensi untuk menelaah karya sastra dengan pendekatan semiotik.
4. Melakukan
analisis Padamu Jua karya Amir Hamzah dengan pendekatan semiotik.
Z
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Semiotika
Dalam kata pengantar buku serba
serbi semiotika, Panuti Sujiman dan Aart van Zoes memberikan istilah semiotika
yang berasal dari bahasa yunani “semion” yang berarti “tanda”. Panuti dan Zoes
berpendapat bahwa kehidupan dipenuhi dengan tanda-tanda, seperti komunikasi,
struktur bangunan, film, dan sebagainya terdapat tanda. Ahli filsafat Amerika
Charles Sanders Piece, menegaskan bahwa kita berfikir dengan adanya tanda.
(Sujiman dan Zoes,1992:viii).
Semiotik sastra adalah ilmu yang
mengkaji tentang “tanda”, dan menganggap karya sastra adalah sebagai suatu
system yang padu (di dalam) dan memiliki konvensi – konvensi (di luar) sebagai
system. Pengarang melakukan komunikasi dengan dirinya, karya sastra dan pembaca.
Karya sastra secara jelas memiliki tanda yang disampaikan membaca untuk dapat
dipahami makna karya sastra tersebut. Bahasa adalah alat yang digunakan manusia
untuk berkomunikasi yang disertai dengan mimik, dan ekspresi serta intonasi
dapat menentukan makna komunikasi tersebut. Jadi, analisis semiotika atau
disebut semiotik saja dapat dikatakan sebagai metode pengkajian analisis
“tanda” yang terdapat dalam karya sastra.
2.2 Pendekatan Semiotik
dalam Analisis Karya Sastra
Pendekatan semiotik adalah penelaah karya sastra dengan
mempelajari setiap unsur yang ada di dalamnya, suatu sistem yang terikat dengan
sistem tertentu (yang ada di luar). Konvensi-konvensi dan pandangan masyarakat
tentang “tanda” yang terdapat dalam karya sastra tersebut. Pendekatan Semiotik
merupakan salah satu kritikan yang penting dan popular dalam bidang bahasa dan
kesusasteraan. Pendekatan ini kritik ini menggunakan prinsip-prinsip teori Semiotik
sebagaiamana yang yang dikemukakan oleh beberapa orang tokoh seperti Fredinand
de Saussure, Sander Pierce, Micheal Riffaterre, Umbarto Eco, Jurij Lotman dan
lain-lain. Pendekatan ini menitikberatkan soal kebahasaan dengan penumpuan
kepada mencari dan memahami makna menerusi sistem lambang (sign) dan
perlambangan dalam teks.
Asas kepada kritikan ini ialah kepercayaan bahawa
makna bahasa ditandai dengan sistem lambang dan perlambangan. Lambang dan
perlambangan ini pula mempunyai hubungan dengan psikologi manusia dalam
sesebuah masyarakat. Makna dalam teks dapat difahami dengan mentafsir lambang
dan perlambangan yang hadir dalam teks dan dihubungkan pula dengan penerimaan
umum dalam sebuah masyarakat. Semiotik mungkin bermula awal iaitu
semenjak zaman Plato lagi. Namun, untuk beberapa tempoh waktu, ianya tidak
dipentingkan terutamanya dalam era penolakan epistimologi teori ini. Walau
bagaimanapun, selepas kurun ke-17, Semiotik muncul semula dengan lebih
bertenaga. Beberapa cadangan supaya kajian secara mendalam tentang bahasa yang
lebih sistematik perlu diwujudkan telah disuarakan oleh ramai pemikir falsafah
seperti Ferdinand de Saussure dan Charles Sander Peirce.
Dikemukakan Preminger dkk bahwa
penerangan semiotik itu memandang objek-objek atau laku-laku sebagai parole (laku tuturan) dari suatu langue (bahasa: system linguistik) yang
mendasari tata bahasanya harus dianalisis.
Langkah-langkah
dalam mennganalisi karya sastra adalah sebagai berikut:
1. menyendirikan
satuan-satuan minimal yang digunakan system tersebut.
2. menentukan
kontras-kontras di antara satuan-satuan yang menghasilkan arti (hubungan-hubungan
pragmatik)
3. aturan
kombinasi yang memungkinkan satuan-satuan itu untuk dikelompokkan bersama –sama
sebagai pembentuk-pembentuk struktur makna yang lebih luas (hubungan-hubungan
sintagmatik).
2.3
Konvensi – konvensi untuk menelaah karya sastra dengan pendekatan semiotik
Dikatakan selanjutnya oleh preminger dalam Pradopo
(2010:109) bahwa studi semiotik sastra adalah usaha untuk menganalisis sebuah
sistem tanda-tanda. Oleh karena itu peneliti harus bisa menentukan
konvensi-konvensi tambahan apa yang memungkinkan karya sastra bisa mempunyai
makna yang lebih luas. Karya satra merupakan sebuah sistem yang mempunyai
konvensi-konvensi sendiri. Dalam genre puisi khususnya, ,mempunyai ragam: puisi
lirik, syair, pantun, sonata, balada, dan sebagainya. Seperti contohnya ,
seperti genre puisi merupakan sistem tanda, yang mempunyai satuan-satuan tanda
(yang minimal) seperi kosa kata, bahasa kiasan, diantaranya personifikasi,
simile, metafora, dan metomini. Tanda-tanda itu mempunyai makna berdasarkan
konvensi-konvensi (dalam) sastra. Diantara konvensi-konvensi kebahasaan yang
meliputi : bahasa kiasan, saran retorika, dan gaya bahasa pada umumnya.
Disamping itu ada konvensi ambiguitas. Kontradiksi dan nonsense. Adapula
konvensi visual tersebut diantaranya baris sajak, enjambement, sajak (rima),
tipografi, dan homoloque. Konvensi kepuitisan visual sajak tersebut dalam
linguistik tidak mempunyai arti, tetapi dalam sastra mempunyai dan menciptakan
arti.
Puisi yang baik lazimnya menawarkan serangkaian
makna kepada pembacanya. Untuk menangkap rangkaian makna itu, tentu saja pembaca perlu
masuk ke dalamnya dan mencoba memberi penafsiran terhadapnya. Langkah dasar
yang dapat dilakukan untuk pemahaman itu adalah ikhtiar untuk mencari tahu
makna teks. Sebagian sebuah teks, puisi menyodorkan makna eksplisit dapat kita
tarik dari per-wujudan teks itu sendiri; pilihan katannya, Rangkaian
sintaksisnya, dan makna semantisnya. Pilihan kata atau diksi menyodorkan
kekayaan nuansa makna; rangkaian sintaksis berhubugan dengan maksud yang hendak
disampaikan, logika yang digunakan bekaitan dengan pemikiran dan ekspresi yang
ditawarkan; makna semantik berkaitan dengan kedalaman makna setiap kata dan
acuan-acuan yang disarankannya. Adapun makna eksplisit berkaitan dengan
interpretasi dan makna yang menyertai dibelakang puisi yang bersangkutan.
Berdasarkan hubungan antara penanda dan petanda,
tanda terdiri atas tiga jenis. Jenis-jenis tanda tersebut adalah ikon, indeks,
dan simbol. Ikon adalah tanda yang memperlihatkan adanya hubungan yang bersifat
alami antara penanda dengan petandanya. Hubungan itu adalah hubungan persamaan.
Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan kausal (sebab-akibat) antara
penanda dengan petandanya. Simbol adalah tanda yang tidak memiliki hubungan
alamiah antara penanda dengan petandanya, melainkan hubungan yang ada bersifat
arbitrer. Ketiga tanda tersebut merupakan peralatan semiotik yang fundamental.
Dikemukakan oleh Riffaterre (1978:1) bahwa puisi itu
dari dahulu hingga sekarang selalu berubah karena evolusi selera dan konsep estetik
yang selalu berubah dari periode ke periode. Ia menganggap bahwa puisi adalah
sebagai salah satu wujud aktivitas bahasa. Puisi berbicara mengenai sesuatu hal
dengan maksud yang lain. Artinya, puisi berbicara secara tidak langsung sehingga
bahasa yang digunakan pun berbeda dari bahasa sehari-hari. Jadi,
ketidaklangsungan ekspresi itu merupakan konvensi sastra pada umumnya. Karya
sastra itu merupakan ekspresi yang tidak langsung, yaitu menyatakan pikiran
atau gagasan secara tidak langsung, tetapi dengan cara lain (Pradopo,
2010:124). Ketidaklangsungan ekspresi itu menurut Riffaterre (1978:2) disebabkan
oleh tiga hal, yaitu :
a)
Penggantian Arti (displacing of meaning)
Penggantian arti ini menurut Riffaterre disebabkan
oleh penggunaan metafora dan metonimi dalam karya sastra. Metafora dan metonimi
ini dalam arti luasnya untuk menyebut bahasa kiasan pada umumnya. Jadi, tidak
terbatas pada bahasa kiasan metafora dan metonimi saja. Hal ini disebabkan oleh
metafora dan metonimi itu merupakan bahasa kiasan yang sangat penting hingga
dapat mengganti bahasa kiasan lainnya.
b)
Penyimpangan Arti (distorting of
meaning)
Riffaterre (1978:2) mengemukakan bahwa penyimpangan
arti disebabkan oleh tiga hal, yaitu terjadi karena adanya ambiguitas (bermakna
ganda), kontradiksi ( pertentangan) dan nonsense (kata-kata yang secara
linguistik tidak memiliki arti).
c) Penciptaan Arti (creating of meaning)
Organisasi teks di luar lingistik (konvensi
kepuitisan yang secara linguistic tak memiliki arti , tetapi menimbulkan makna
dalam sajak) misalnya saja bait, rima, homologues. (Pradopo, 2005:131).
2.4 Analisis Semiotik
Puisi “PADAMU JUA” Karya Amir Hamzah
PADAMU JUA
Habis kikis
Segala cintaku
hilang terbang
Pulang kembali
aku padamu
Seperti dahulu
Kaulah kendil
kemerlap
Pelita jendela
di malam gelap
Melambai pulang
perlahan
Sabar, setia
selalu
Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa
Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata
merangkai hati
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam
cakarmu
Bertukar tangkap
dengan lepas
Nanar aku, gila
dasar
Sayang berulang
paamu jua
Engkau pelik
menarik ingin
Serupa dara di
balik tirai
Kasihmu sunyi
Menunggu seorang
diri
Lalu waktu~bukan
giliranku
Matahari~bukan
kawanku
(Berkenalan
dengan puisi, 2002:199)
Puisi
Padamu Jua terdiri dari 28 baris yang terbagi dalam tujuh bait, tiap bait
terdiri dari 4 baris. Puisi Padamu Jua ditinjau dari judulnya menggambarkan
tentang kembalinya seseorang yang telah lama meninggalkannya. Ketika pembaca
membaca judulnya akan terlintas minimal tentang sesuatu yang kembali. Ketika
memasuki isi, Padamu Jua merupakan gambaran tentang pengakuan dan pengaduan
antara aku (lirik) dengan engkau (lirik). Engkau (lirik) merupakan zat yang tak
terlihat tetapi keberadaannya sangat diakui, dalam hal ini zat Ilahiah. Hal ini
disimbolkan jelas pada bari ke-5 dan ke-6 : /Kaulah kendil kemerlap//Pelita jendela di malam gelap/. Engkau
adalah zat yang menerangi hati manusia ketika manusia mengalami /malam gelap/ yang merupakan simbol kegelisahan, kesusahan,
kegagalan, dan permasalahan yang berat. Demikian juga Serupa dara dibalik tirai yang merupakan penguatan dari zat yang
tak terlihat namun keberadaannya diakui. Demikian juga sifat – sifat
ke-Ilahiahan tergambar dalam /melambai
pulang perlahan// Sabar, setia selalu/ yang merupakan sifat Ilahiah selalu
mendengar keluh dan kesah manusia, memberikan /melambai pulang perlahan/ petunjuk dengan caranya, yang manusia
tak menyadarinya, dan bagi orang yang
berpikir akan mengetahui hikmah dari apa yang disajikan Tuhan.
Si
aku lirik mengalami kegagalan /Habis
kikis//Segala cintaku hilang terbang/ yang sangat menyakitkan dan tak tercapainya
keinginan atau cita – cita si aku lirik. Sehingga ia menemui kembali pada sang
pemberi jalan, yang mengatur nasib ini /pulang
kembali aku Padamu// Seperti dahulu/ yang merupakan indeks dalam kegagalan.
Dalam konteks ini, si aku lirik pernah mengalami kerenggangan atau lupa pada
masa kejayaannya, perjuanganya, namun ketika jatuh /Mangsa aku dalam cakarmu// Bertukar tangkap dengan lepas/ ia sadar
atau insaf dan melakukan pengakuan dan pengaduan bahwa segala sesuatu telah ada
yang mengatur, segala sesuatu akan kembali kepadaNya.
Dapat
diartikan si aku lirik mengalami kegagalan dalam cinta. Namun cinta disini tak
dijelaskan kepada siapa. Apakah kepada wanita (jika si aku lirik adalah
laki-laki) atau kepada laki-laki (jika si aku lirik adalah wanita), cinta pada
kerja, harta, atau hal yang beersifat keduniaan.
Si
aku lirik mengalami kerinduan dengan si engkau lirik ketika ia mengalami kegagalan
atau apa yang telah ia usahakan semua sirna, hilang dan terbang. /Satu kekasihku//Aku manusia//Rindu
rasa//Rindu rupa//Di mana engkau//Rupa tiada//Suara sayup//Hanya kata merngkai
hati/ merupakan senyum pengakuan si aku lirik sebagai manusia bahwa kekasih
sejati adalah engkau lirik, cinta yang sesungguhnya hanya untuk engkau lirik.
Kerinduan si aku lirik akan kehadiran engkau lirik (Tuhan) dengan ayat-ayatnya
(firman-Nya).
Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu~bukan
giliranku
Matahari~bukan kawanku
Memberikan
makna bahwa si aku lirik menyadari dan pasrah menerima apa yang telah diberikan
oleh engkau lirik. Si aku tidak menyerah terhadap kegagalan yang telah
dialaminya. Tanda (~) /Lalu waktu~bukan
giliranku/ merupakan keinsyafan si aku akan nasib, kemudian juga pada /Matahari~bukan kawanku/. Pemisahan kata
/Mata/ dengan /hari/ memperjelas makna sebagai keberuntungan, jalan, keberhasilan,
dan kekuasaan.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan
pendekatan Semiotik puisi Padamu Jua karya Amir Hamzah memiliki tanda yang
disampaikan untuk pembaca agar dapat
dipahami maknanya. Puisi tersebut sesungguhnya menyampaikan bahwa seseorang seharusnya
senantiasa selalu mengingat Tuhan dalam keadaan apapun dan bersyukur dengan apa
yang telah diberikan. Bukan hanya pada saat kita jatuh saja dan mensyukuri saat kita mengalami keberuntungan. Karena
sesungguhnya segala sesuatu telah ada yang mengaturnya dan semua akan kembali
kepada-Nya. Amir Hamzah memberikan pesan (ketidak
langsungan ekspresi) melalui media puisi dan kiasan kata yang memberikan
konkretisasi, kesatuan yang utuh dari tiap baris dan bait yang memberikan
makna. Dengan mengandaikan sebuah kehidupan si aku yang hancur dan kemudian
insyaf. Sesungguhnya semua itu mengharapkan manusia agar tidak lupa diri dan
sombong pada saat mengalami kejayaan, karena kehidupan itu akan terus berputar
dan suatu saat kejayaan itu akan mengalami kejatuhan, kenaasan.
DAFTAR
PUSTAKA
Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington: Indiana University Press.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2005. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik , dan Penerapannya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Preminger, Alese (ed.) dkk. 1974. Princeton Encyclopedia of Poetry and Poetics.
New Jersey: Pringceton University Press.