Free Angel ani Cursors at www.totallyfreecursors.com
Indry Wild Blood

Minggu, 14 April 2013

PENDEKATAN WHOLE LANGUAGE

ž PENGERTIAN WHOLE LANGUAGE
Whole Language adalah suatu cara untuk menyatukan pandangan tentang bahasa, tentang pembelajaran dan tentang orang-orang yang terlibat dalam pembelajaran. Whole Language dimulai dengan menumbuhkan lingkungan dimana bahasa diajarkan secara utuh dan keterampilan bahasaan.
ž Komponen whole language
Menurut Routman (1991) dan Froese (1991) ada delapan komponen Whole Language, yaitu:
1.    Reading aloud
2.    Journal writing
3.    Sustained silent reading
4.    Shared reading
5.    Guided reading
6.    Guided writing
7.    Independent reading
8.    Independent writing
         
ž Penilaian kelas whole language
Guru senantiasa memperhatikan kegiatan yang dilakukan siswa. Secara informal, selama pembelajaran berlangsung, guru memperhatikan siswa menulis, mendengarkan siswa berdiskusi baik dalam kelompok ataupun diskusi kelas. Ketika siswa bercakap-cakap dengan temannya atau dengan guru, penilaian juga dilakukan, bahkan guru juga memberikan penilaian saat siswa bermain selama waktu istirahat. 

ž Kelemahan whole language
1.    Perubahan menjadi kelas whole language memerlukan waktu yang cukup lama karena perubahan harus dilakukan dengan hati-hati dan perlahan agar menghasilkan kelas whole language yang diinginkan
2.    Dalam penerapan whole language guru harus memahami dulu komponen-komponen whole language agar pembelajaran dapat dilakukan secara maksimal
3.    Kelebihan whole language
4.    Pengajaran keterampilan berbahasa dan komponen bahasa seperti tata bahasa dan kosakata disajikan secara utuh bermakna dan dalam situasi nyata atau otentik
5.    Dalam kelas whole language siswa berperan aktif dalam pembelajaran. Sebagai fasilitator, guru berkeliling kelas mengamati dan mencatat kegiatan siswa. Dalam hal ini guru menilai siswa secara informal

HAKIKAT, SIFAT, DAN FUNGSI BAHASA



A.  Hakikat Bahasa Indonesia



Seperti kata pepatah "Bahasa menunjukkan bangsa", maka penggunaan bahasa Indonesia oleh masyarakat Indonesia saat ini mencerminkan sikap bangsa Indonesia yang enggan bertanggung jawab, makin tidak mengenal tata krama, dan miskin imajinasi.

Bahasa adalah kesatuan perkataan beserta sistem penggunaannya yang berlaku umum dalam pergaulan antar anggota suatu masyarakat atau bangsa. Selain memiliki fungsi utama sebagai wahana berkomunikasi, bahasa juga memiliki peran sebagai alat ekspresi budaya yang mencerminkan bangsa penuturnya. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang menjadi wahana komunikasi dan alat ekspresi budaya yang mencerminkan eksistensi bangsa Indonesia.


B.  Sifat Bahasa

Sifat-sifat Bahasa ,terdiri dari :

1. Bahasa itu adalah sebuah system

2. Bahasa itu berwujud lambang.
3. Bahasa itu berupa bunyi.
4. Bahasa itu bersifat arbitrer.
5. Bahasa itu bermakna.
6. Bahasa itu bersifat konvensional.
7. Bahasa itu bersifat unik.
8. Bahasa itu bersifat universal.
9. Bahasa itu bervariasi.
10. Bahasa itu bersifat dinamis.
11. Bahasa itu bersifat produktif.
12. Bahasa itu bersifat manusiawi



1.Bahasa itu adalah sebuah system

Bahasa memiliki susunan teratur dan berpola yang terbentuk oleh sejumlah unsur atau komponen. Unsur atau komponen itu berhubungan satu dengan yang lain membentuk suatu keseluruhan yang bermakna dan fungsional. Contohnya “ Kucing itu melompat ke meja “ dan “ Kucing melompat itu meja ke” . Contoh pertama, adalah sebuah kalimat bahasa Indonesia karna tersusun dengan benar menurut pola aturan kaidah (sistem) bahasa Indonesia sedangkan contok kedua sebaliknya.


2. Bahasa itu berwujud lambang

Bahasa sebagai lambang artinya adalah bahasa sebagai penanda ide, pikiran, perasaan, benda, serta tindakan yang secara langsung dan ilmiah. Contohnya saja lambang bahasa yang berbunyi [sapi] melambangkan konsep atau makna ‘sejenis binatang berkaki empat yang biasa dimakan dagingnya’, dan lambang bahasa yang berbunyi [pensil]  ‘sejenis alat tulis yang bisa dihapus dan tidak bertinta’


3. Bahasa itu berupa bunyi

Kata bunyi, yang sering sukar dibedakan dengan kata suara, sudah biasa kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Secara teknis, menurut Kridalaksana (1983:27) bunyi adalah kesan pada pusat saraf sebagai akibat dari getaran gendang telinga yang bereaksi karena perubahan-perubahan dalam tekanan udara. Jadi, bahasa sebagai bunyi adalah sistem bahasa berupa lambang yang wujudnya berupa bunyi. Contohnya media massa adalah bunyi – bunyi bahasa secara lisan dan berupa lambang bunyi / tulisan.


4. Bahasa itu bersifat arbitrer

Arbitrer itu tidak ada hubungan wajib antara lambang bahasa dengan konsep atau pengertian yang dimaksud oleh lambang itu. Hubungan antara signifiant dan signifie itu yang disebut arbitrer, sewenang-wenang. Contohnya pilihan suatu kata disebut kursi, meja, guru, murid dan lain-lain ditentukan bukan atas dasar kriteria atau standar tertentu, melainkan secara mana suka


5.  Bahasa itu bermakna

Bahasa itu adalah sistem lambang yang berwujud bunyi. Sebagai lambang tentu ada yang dilambangkan. Yang dilambangkan itu adalah suatu pengertian atau konsep. Lambang bunyi bahasa yang bermakna dalam bahasa berupa satuan-satuan bahasa yang berwujud morfem, kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana. Semua satuan itu memiliki makna. Contohnya lambang bahasa yang berbunyi “ nasi “ melambangkan konsep atau makna sesuatu yang bisa dimakan orang sebagai makanan pokok.


6. Bahasa itu bersifat konvensional

Penggunanaan lambang untuk suatu konsep tertentu bersifat konvensional. Artinya, semua anggota masyarakat bahasa itu mematuhi konvensi bahwa lambang tertentu digunakan untuk mewakili konsep yang diwakilinya. Contohnya, lambang “ buku “ hanya digunakan untuk menyatakan tumpukan kertas bercetak yang dijilid, dan tidak untuk melambangkan konsep yang lain, sebab jika dilakukan berarti dia telah melanggar kon
ensi itu.


7.  Bahasa itu bersifat unik

          Bahasa dikatakan bersifat unik, karena setiap bahasa mempunyai ciri khas sendiri yang tidak dimiliki oleh oleh bahasa lainnya. Ciri khas ini bisa menyangkut sistem bunyi, sistem pembentukan kata, sistem pembentukan kalimat, atau sistem-sistem lainnya. Contohnya saja bahasa Jawa dengan bahasa Sunda, kedua bahasa tersebut mempunyai ciri khas dan keunikan yang berbeda


8. Bahasa itu bersifat universal

          Ada ciri-ciri yang sama yang dimiliki oleh setiap bahasa yang ada di dunia ini. Karena bahasa itu berupa ujaran, maka ciri universal dari bahasa yang paling umum adalah bahwa bahasa ini mempunyai bunyi bahasa yang terdiri dari vokal dan konsonan. Tetapi berapa banyak vokal dan konsonan yang dimiliki oleh setiap bahasa, bukanlah persoalan universal. Contohnya bahasa Indonesia pada kata “ rumah “ mulai dari Sabang sampai Merauke pun orang Indonesia tahu tentang arti kata itu.


9. Bahasa itu variasi

          Setiap bahasa digunakan oleh sekelompok orang yang termasuk dalam suatu masyarakat bahasa. Mengenai variasi bahasa ini ada tiga istilah yang perlu diketahui, yaitu idiolek, dialek, dan ragam. Ragam bahasa adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi, keadaan, atau untuk keperluan tertentu. Contohnya, bahasa Jawa di Surabaya tidak sama persis dengan bahasa Jawa di Yogyakarta. Begitu juga bahasa Arab yang digunakan di Mesir berbeda dengan yang digunakan di Arab Saudi.


10. Bahasa itu bersifat dinamis

Karena keterikatan bahasa dengan manusia, sedangkan dalam kehidupannya dalam masyarakat kegiatan manusia itu tidak tetap dan selalu berubah, maka bahasa itu juga menjadi ikut berubah, menjadi tidak tetap, menjadi tidak statis. Karena itulah, bahasa itu disebut dinamis.contohnya Contohnya kata kempa, perigi, dan centang-perenang yang dulu ada dan digunakan dalam bahasa Indonesia kini sudah jarang digunakan lagi bahkan tidak digunakan lagi. Sebaliknya, kata-kata seperti riset, kolusi, ulang-alik yang dulu tidak dikenal, kini sudah biasa digunakan


11. Bahasa itu bersifat produktif

Bahasa dikatakan produktif, maksudnya meskipun unsur-unsur bahasa itu terbatas, tetapi dengan unsur-unsur yang jumlahnya terbatas itu dapat dibuat satuan-satuan bahasa yang jumlahnya tidak terbatas. Singkatnya dari 26 huruf dalam bahasa Indonesia, kita bisa membuat beragam kata. Contohnya menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S. Purwadarminta, bahasa Indonesia hanya memunyai kurang dari 23.000 buah lema (kata), tetapi dengan 23.000 kata itu dapat dibuat jutaan kalimat yang tidak terbatas. Saya percaya, jika tidak silahkan coba sendiri. Jadi, bahasa itu bersifat terbatas (kosa katanya) dan juga sekaligus tidak terbatas.


12. Bahasa itu manusiawi

Alat komunikasi manusia yang bernama bahasa adalah bersifat manusiawi, dalam arti hanya milik manusia dan hanya dapat digunakan oleh manusia. Contohnya saja Hewan tidak memunyai bahasa. Yang dimiliki hewan sebagai  alat komunikasi (berupa bunyi dan isyarat) tidak bersifat produktif dan tidak dinamis. Yang dikuasai oleh para hewan seecara instingtif, atau secara naluriah. Sedangkan manusia dalam menguasai bahasa dengan cara belajar. Tanpa belajar manusia tidak akan bisa berbahasa


C.  Fungsi Bahasa

Di dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai :

1.     Lambang kebanggan nasional

2.    Identitas nasional

3.    Alat pemersatu berbagai masyarakat yang berbeda – beda latar belakang sosial budaya dan bahasanya

4.    Alat perhubungan antarbudaya antardaerah

Di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai :

1.     Bahasa resmi kenegaraan

2.    Bahasa pengantar resmi di lembaga – lembaga pendidikan

3.    Bahasa resmi di dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintahan.

4.    Bahasa resmi di dalam pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta teknologi modern.


ASAL USUL BANYUWANGI

Konon, dahulu kala wilayah ujung timur Pulau Jawa yang alamnya begitu indah ini dipimpin oleh seorang raja yang bernama Prabu Sulahkromo. Dalam menjalankan pemerintahannya ia dibantu oleh seorang Patih yang gagah berani, arif, tampan bernama Patih Sidopekso. Istri Patih Sidopekso yang bernama Sri Tanjung sangatlah elok parasnya, halus budi bahasanya sehingga membuat sang Raja tergila- gila padanya. Agar tercapai hasrat sang raja untuk membujuk dan merayu Sri Tanjung maka muncullah akal liciknya dengan memerintah Patih Sidopekso untuk menjalankan tugas yang tidak mungkin bisa dicapai oleh manusia biasa. Maka dengan tegas dan gagah berani, tanpa curiga, sang Patih berangkat untuk menjalankan titah Sang Raja. Sepeninggal Sang Patih Sidopekso, sikap tak senonoh Prabu Sulahkromo dengan merayu dan memfitnah Sri Tanjung dengan segala tipu daya dilakukanya. Namun cinta Sang Raja tidak kesampaian dan Sri Tanjung tetap teguh pendiriannya, sebagai istri yang selalu berdoa untuk suaminya. Berang dan panas membara hati Sang Raja ketika cintanya ditolak oleh Sri Tanjung.
Ketika Patih Sidopekso kembali dari misi tugasnya, ia langsung menghadap Sang Raja. Akal busuk Sang Raja muncul, memfitnah Patih Sidopekso dengan menyampaikan bahwa sepeninggal Sang Patih pada saat menjalankan titah raja meninggalkan istana, Sri Tanjung mendatangi dan merayu serta bertindak serong dengan Sang Raja.
Tanpa berfikir panjang, Patih Sidopekso langsung menemui Sri Tanjung dengan penuh kemarahan dan tuduhan yang tidak beralasan.

Pengakuan Sri Tanjung yang lugu dan jujur membuat hati Patih Sidopekso semakin panas menahan amarah dan bahkan Sang Patih dengan berangnya mengancam akan membunuh istri setianya itu. Diseretlah Sri Tanjung ke tepi sungai yang keruh dan kumuh. Namun sebelum Patih Sidopekso membunuh Sri Tanjung, ada permintaan terakhir dari Sri Tanjung kepada suaminya, sebagai bukti kejujuran, kesucian dan kesetiannya ia rela dibunuh dan agar jasadnya diceburkan ke dalam sungai keruh itu, apabila darahnya membuat air sungai berbau busuk maka dirinya telah berbuat serong, tapi jika air sungai berbau harum maka ia tidak bersalah.

Patih Sidopekso tidak lagi mampu menahan diri, segera menikamkan kerisnya ke dada Sri Tanjung. Darah memercik dari tubuh Sri Tanjung dan mati seketika. Mayat Sri Tanjung segera diceburkan ke sungai dan sungai yang keruh itu berangsur-angsur menjadi jernih seperti kaca serta menyebarkan bau harum, bau wangi. Patih Sidopekso terhuyung-huyung, jatuh dan ia jadi linglung, tanpa ia sadari, ia menjerit “Banyu….. … wangi…………… . Banyu wangi … ..” Banyuwangi terlahir dari bukti cinta istri pada suaminya

Rabu, 02 Januari 2013

TINJAUAN FEMINISME PADA CERPEN “CATATAN SEORANG PELACUR”






TINJAUAN FEMINISME PADA CERPEN “CATATAN SEORANG PELACUR”



MAKALAH
diajukan guna melengkapi tugas akhir mata kuliah Sosiologi Sastra



oleh
         
Indri Lestari
100210402103




PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2012

 


SINOPSIS



Cerpen “catatan seorang pelacur “ bercerita tentang refleksi panjang seorang wanita penghibur bernama Neng Sum tentang kehidupan yang ia jalani saat itu. Refleksi panjang tersebut ia curahkan dalam buku hariannya yang menjadi teman setianya menjalani hari-hari yang penuh tantangan.menurutnya buku harian adalah tempat mencurahkan segala hal yang bersifat pribadi, suatu rahasia yang dapat meringankan beban jiwa.

Persoalan cinta adalah persoalan yang pertama terlintas di benaknya. Di dalam kamar kosong, di depan buku hariannya, bagi dirinya yang telah terlanjur bergelimang lumpur, maka cinta ( dalam arti suami-istri) adalah omong kosong. Ia pernah menikah namun kembali ditengah masyarakat yang begitu membenci dan mengutuki pelacuran, para lelaki merasa janggal, aneh, melihat kehadirannya di tengah kehidupan mereka yang sopan.

Malam itu, lelaki terakhir yang ia layani adalah mantan tetangganya. Seorang lelaki yang tidak menjaga kesetiaannya, ia mencari kenikmatan di luar lantaran istrinya belum mau punya anak lagi. Ia tak dapat membayangkan seandainya saat itu istrinya memergokinya.



Terlintas di benaknya lagi penghidupan yang hitam dihadapanya, tanpa batas waktu kapan akan berakhir. Ia hidup sebatang kara, meskipun ia masih punya keluarga, tetapi mereka malu dan menganggap kehadirannya ditengah mereka adalah sebuah angka nol. Saat ini ia berpikir bahwa hidup selanjutnya betul-betul berada di tangan sendiri. Apakah mau dihancurkan atau membinanya.

Dalam keterpurukannya itu ia juga sadar, ia tidak mau seperti Aisah yang menghamburkan uang demi cinta palsu setiap lelaki. Setelah beberapa hari kembali lagi menjadi seorang pelacur. Ia juga tak mau seperti Emi yang menghamburkan uang dengan makan makanan mewah, minum minuman keras, mabok. Setelah itu ia kembali menjadi pelacur dan merati hidupnya.

Neng Sum berusaha menghindari kehidupan seperti Aisah dan Emi tersebut. Ia berencana setelah mengumpulkan uang secukupnya ia akan mengucapkan slamat tinggal pada penghidupan yang memalukan ini. Dengan uang tersebut ia akan berusaha berdagang dan dalam pada itu untuk sementara menutup pintu bagi cinta yang bersifat spekulasi.













BAB I

PENDAHULUAN



1.1  Latar Belakang



Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sastra berarti “karya tulis yang jika dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki berbagai ciri keunggulan, seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya”. Karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat.

Karya sastra sedikit banyak memberikan gambaran tentang masalah kemasyarakatan. Karya sastra sering pula tidak dapat dipisahkan dari gejolak atau keadaan masyarakat yang melibatkan penulis dan terkadang juga pembacanya. Pendekatan terhadap karya sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan disebut pendekatan sosiologi sastra (Damono, 1979: 2).

Karya sastra sebagai hasil ciptaan pengarang yang terikat dengan status sosial tentu mempengaruhi hasil karyanya. Berbicara tentang kepengarangan, dewasa ini semakin marak munculnya perempuan pengarang yang menyuarakan pandangan feminismenya. Sejak gerakan feminisme dimulai beberapa abad yang lalu persoalan akan kesetaraan gender tiada habis-habisnya. Di sisi lain orang ramai-ramai memperjuangkan persamaan hak dan perlakuan diskriminasi terhadap perempuan, namun di sisi lain pula penindasan dan diskriminasi masih terus terjadi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Feminisme itu sendiri berasal dari kata Feminism (Inggris) yang berarti gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria. Pengertian feminisme juga dikemukakan oleh Kutha Ratna yang mendefinisikan feminisme secara etimologis berasal dari kata femme (woman), yang berarti perempuan yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan, sebagai kelas social.

Perjuangan feminisme tersebut dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya lewat karya sastra. Dalam karya sastra membicarakan feminisme berarti membicarakan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam perspektif gender. Dalam makalah ini penulis hendak menganalisa cerpen berjudul “ Catatan Seorang Pelacur” karya Putu Arya Tirthawirya dengan kajian feminisme sastra



1.2  Rumusan Masalah

Bagaimanakah tinjauan feminisme dalam cerpen “Catatan Seorang Pelacur” karya Putu Arya Tirthawirya?



1.3  Tujuan Penulisan

Untuk mengetahui bagaimana tinjauan feminisme dalam cerpen “ Catatan Seorang Pelacur” karya Putu Arya Tirthawirya








BAB II

PEMBAHASAN



2.1 Feminisme

Secara etimologi, feminisme berasal dari kata femme (woman), berarti perempun (tunggal) yang berjuang memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas sosial. Menurut Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan, feminisme adalah suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja dan dalam keluarga, serta tindakan sadar perempuan untuk mengubah keadaan tersebut.

Ada tiga ciri feminisme, yaitu: 1) menyadari akan adanya ketidakadilan gender; 2) memaknai bahwa gender bukan sebagai sifat kodrati; 3) memperjuangkan adanya persamaan hak. Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) khususnya dalam masyarakat yang patriarki sifatnya.

Apabila dipandang dari sudut sosial, feminisme muncul dari rasa ketidakpuasan terhadap sistem patriarki yang ada pada masyarakat. Patriarki meletakkan perempuan sebagai laki-laki yang inferior. Kekuatan digunakan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam kehidupan sipil dan rumah tangga untuk membatasai perempuan. Feminisme sering dikaitkan dengan emansipasi, tetapi keduanya memiliki perbedaan.  Emansipasi cenderung lebih menekankan pada partisipasi perempuan dalam pembangunan tanpa mempersoalkan hak serta kepentingan perempuan yang selama ini dirasa tidak adil. Perempuan dalam pandangan feminisme mempunyai aktivitas dan inisiatif sendiri untuk memperjuangkan hak dan kepentingan tersebut dalam berbagai gerakan.



2.2  Tinjauan feminisme dalam cerpen “ Catatan Seorang Pelacur”



Tinjauan dalam kajian feminisme hendaknya mampu mengungkap aspek ketertindasan wanita atas diri pria (Kutha Ratna: 2007). Teori sastra feminis juga melihat bagaimana nilai-nilai budaya yang dianut suatu mayarakat, suatu kebudayaan, yang menempatkan perempuan pada kedudukan tertentu serta melihat bagaimana nilai-nilai tersebut mempengaruhi hubungan antara perempuan dalam tingkat psikologis dan budaya.

Dalam cerpen “ Catatan Seorang Pelacur” tergambar dengan jelas bagaimana kehidupan seorang pelacur benama Ning Sum yang terasing dari kehidupan yang baik-baik. Dalam cerpen tersebut Ning Sum menggambarkan bahwa wanita sebenarnya hanya obyek seks semata laki-laki.

“ Mereka telah kehilangan tubuhku yang sebetulnya dapat mereka jadikan mangsa yang nikmat waktu napsunya mengubah mereka menjadi drakula atau seekor kucing kelaparan yang dimatanya aku adalah seekor tikus betina”

Suatu kenyataan pula bahwa laki-laki tidak pernah bisa menjaga kesetiaannya baik-baik. Mereka hanya berpura-pura setia.

“ Pak, kan sudah punya istri yang masih muda lagi cantik” gurauku menyambutnya.

“ Tapi dia belum ingin punya anak lagi” jawabannya dengan senyuman yang membungkus kehausan dan mata seekor vampir sewaktu aku melepaskan pakaian dan dia mencegahku setengah mati ketika aku pura-pura memadamkan lampu.

Kehidupan yang ia jalani sebelumnya memang sungguh menyakitkan baginya. Ketika ia sudah melepaskan diri dari pekerjaan yang hina itu, menikah dan mencoba hidup baik-baik, ia mendapati kehidupan yang jauh dari bayangannya, setelah ia hidup di tengah masyarakat yang sangat membenci dan mengutuki pelacuran. Bahkan keluarganya pun menganggap kehadirannya adalah angka nol bahkan keluarganya bersyukur jika ia tidak muncul lagi di mata mereka.

Hal ini menggabarkan bahwa nilai-nilai budaya yang dianut suatu masyarakat menempatkan wanita pada posisi tertindas dan terasing dari kehidupan. Hal ini berlaku umum di masyarakat kita, profesi semacam pelacur dianggap sebagai profesi yang kotor dan penuh dosa, tanpa disadari bahwa terkadang banyak wanita yang menjadi pelacur lantaran penghidupan yang susah dan berat.

 Dari cerpen tersebut, suatu hal positif dapat diambil dari sikap tokoh Neng Sum yang begitu tegar menghadapi kehidupannya saat itu.  Ia tidak mau seperti Aisah dan Emi yang hancur hidupnya karena cinta buta para lelaki. Sebagai wanita yang tegar ia memiliki rencana hidup, yaitu keluar dari kehidupan yang dicap kotor ini dan memulai hidup baik-baik. Dan satu hal lagi, ia akan menutup diri dari cinta bersifat spekulatif.

 Lewat cerpen ini, Putu Arya Tirthawirya ingin menyampaikan bahwa perempuan seperti Neng Sum yang dicap kotor di tengah masyarakat perlu dihormati dan dihargai. Mereka juga menjalani kehidupan semacam itu bukan karena apa-apa tetapi karena persoalan hidup yang menghimpit. Sebenarnya juga, wanita-wanita malam yang berseliweran dan menjadi mangsa laki-laki juga memiliki impian hidup baik-baik dan normal seperti yang lainnya.








BAB III

KESIMPULAN



Secara etimologi, feminisme berasal dari kata femme (woman), berarti perempun (tunggal) yang berjuang memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas sosial. feminisme adalah suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja dan dalam keluarga, serta tindakan sadar perempuan untuk mengubah keadaan tersebut

Memang persoalan feminisme memang tiada habisnya. Bahkan mungkin akan terus berlanjut. Namun perjuangan feminisme juga tidak pernah berhenti. Termasuk juga lewat karya sastra. Lewat karya sastra banyak pesan yang disampaikan terkait persoalan feminisme, seperti dalam cerpen catatan seorang pelacur. Perempuan hendaknya bebas dari diskriminasi hak dalam kehidupan tak peduli apapun profesi yang dijalaninya. Jangan karena ia seorang pelacur lalu kita mengucilkannya dari kehidupan.










DAFTAR PUSTAKA



Djoko Damono, Sapardi. 1979. Sosiologi Sastra : Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Departemen Pendidikan Nasional. 1995.  Kamus Besar Bahasa Indonesia Cetakan Kedua, Jakarta: Balai Pustaka

Hoerip, Satyagraha, Editor. 1986. Cerita Pendek Indonesia IV. Gramedia. Jakarta

Kutha Ratna, Nyoman. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, Yogyakarta : Pustaka