APRESIASI PROSA PADA PELATARAN CERPEN “HUJAN”
Diajukan
untuk memenuhi tugas mata kuliah Apresiasi Prosa yang dibina oleh : Drs. Mujiman
Rus Andianto, M.Pd.
oleh
Indri Lestari
Nim 100210402103
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2011
Analisis
Pelataran pada Cerpen “Hujan” karya Sutarji Calzoum Bachri.
Indri Lestari
Jurusan
Bahasa Dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan, Universitas
Jember.
ABSTRAK
Cerita
pendek (cerpen) sebagai salah satu jenis karya sastra ternyata dapat memberikan
manfaat kepada pembacanya. Di antaranya dapat memberikan pengalaman pengganti,
kenikmatan, mengembangkan imajinasi, mengembangkan pengertian tentang perilaku
manusia, dan dapat menyuguhkan pengalaman yang universal. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui Pelataran yang ada di dalam cerpen “Hujan” karya
Sutarji Calzoum Bachri.
Kata
kunci : Kajian semiotik, Cerpen, Pelataran
Pengantar
Dunia
kesastraan mengenal prosas sebagai salah satu genre sastra disamping
genre-genre yang lain. Sastra adalah suatu seni yang hidup bersama-sama dengan
Bahasa. Tanpa bahasa sastra tidak mungkin ada. Melalui bahasa ia dapat
mewujudkan dirinya berupa sastra lisan, maupun tertulis. Walaupun perwujudan
sastra menggunakan bahasa, kita tidak dapat memisahkan sastra dari bahasa,
ataupun membuangnya dari peradaban bahasa itu sendiri, karena itu merupakan
suatu perbuatan yang sangat biadab, Karena sastra adalah sebuah “hidup” bagi
seorang penulis.
Fiksi
menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan
lingkungan dan sesama interaksinya dengan diri sendiri,serta interaksinya
dengan Tuhan.Fiksi m,erupakan hasil dialogkontemplasi,dan reaksi pengarang
terhadap lingkungan dan kehidupan. Oleh karena itu,bagaimanapun fiksi merupakan
sebuah cerita,dan karenanya terkandung juga di dalamnya tujuan memberikan
hiburan kepada pembaca disamping tujuan estetik. Fiksi dapat diartikan sebagai
cerita rekaan. Akan tetapi pada kenyataannya tidak semua karya yang mengandung
unsur kenyataan disebut sebagai karya fiksi.
Novel
dan cerita pendek merupakan dua bentuk sastra yang sekaligus disebut
fiksi,dengan demikian pengertian fiksi seperti dikemukakan diatas, juga berlaku
untuk novel. Cerpen sesuai dengan namanya,adalah cerita yang pendek.Akan
tetapi, berapa ukuran panjang pendek itu memang tidak ada aturannya,tak ada
kesepakatan diantara para pengarang dan para ahli. Novel dan cerpen sebagai
karya fiksi mempunyai persamaan,keduanya dibangun oleh unsur-unsur pembangun
yang sama,keduanya dibangun dari dua unsur intrinsik dan ekstrinsik. Novel dan
cerpen sama-sama memiliki unsur peristiwa, plot, tema, tokoh, latar, sudut
pandang dan lain-lain.
Karya
sastra dengan keutuhannya secara semiotik dapat dipandang sebuah tanda. Sebagai
suatu bentuk, karya sastra secara tertulis akan memiliki sifat kerungan.
Dimensi ruang dan waktu dalam sebuah cerita rekaan mengandung tabiat tanda
menanda yang menyiaratkan makna semiotik. Dari dua tataran (level) antara
mimetik dan semiotik (atau tataran kebahasaan dan mistis) sebuah karya sastra
menemukan keutuhannya untuk dipahami dan dihayati.
Cerita
pendek (cerpen) sebagai salah satu jenis karya sastra ternyata dapat memberikan
manfaat kepada pembacanya. Di antaranya dapat memberikan pengalaman pengganti,
kenikmatan, mengembangkan imajinasi, mengembangkan pengertian tentang perilaku
manusia, dan dapat menyuguhkan pengalaman yang universal. Pengalaman yang
universal itu tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta
kemanusiaan.
Cerpen yang akan saya
apresiasi adalah cerpen karya Sutarji
Calzoum Bachri yang berjudul “Hujan”. Yang ingin saya apresiasi adalah tentang
pelatarannya. Cerpen ini telah banyak mengisyaratkan simbolisme yang tidak dapat
kita artikan secara realita, sehingga dibutuhkan pengkajian secara semiotik.
Kiranya cerpen dengan segala permasalahannya yang universal itu ternyata
menarik juga untuk dikaji. Bahkan tidak pernah berhenti orang yang akan
mengkajinya. Apalagi jika cerpen itu dikaitkan dengan kegiatan pembelajaran di
kelas.
Pembahasan
·
Cerpen
Hujan
Hujan menggelitik pepohonan di halaman, membasuh
dahan, menggertap di atap, dan membangunkan Ayesha, gadis enam belas tahun yang
tadinya nyenyak lelap di kamar.
“Alhamdulillah hujan,” bilang Ayesha sambil turun
dari ranjang dan melangkah ke ruang depan. Ayesha memang senang pada hujan.
Jika hujan datang, ia serasa kedatangan teman yang
akrab. Tapi, Ayesha tak membukakan pintu bagi sahabatnya itu. Ia hanya menyibakkan
gorden di ruang depan dan dari kaca jendela diamatinya hujan di halaman. Ia
juga tak mengucapkan selamat datang. Buat apa, hujan selalu selamat. Kalau
kata-kata semacam itu diucapkan bakal berlebihan, pikir Ayesha.
Bermula karena merajuk pada matahari, ia beranjak
senang pada hujan. Itu ketika masih usia sekitar lima tahunan, ketika
ikut-ikutan ibunya memindahkan anak tanaman suplir ke halaman yang lantas remuk
redam dibantai panas siang.
Kini, sudah lama ia tak benci matahari, tapi tetap
saja ia lebih senang pada hujan. Dari hari ke hari, dari hujan ke hujan ia
selalu semakin senang pada hujan. Di kelas, jika hujan datang ia selalu menatap
ke luar. Guru mula-mula kesal, tapi akhirnya dibiarkan. Bagaimana pun, ia anak
yang pintar. Ayesha selalu masuk dalam rangking terbaik di kelasnya.
Tidak sekadar senang pada hujan, kemudian ia pun
bertanya-tanya sendiri tentang hujan. Bukan cuma butir-butir air yang mengucur
di langit. Bukan hanya butir-butir runcing di ubun-ubun ketika orang lewat di
jalan. Pastilah ada sesuatu yang lain dari hujan, begitu pikir Ayesha. Lantas,
setiap hujan datang ia selalu menyapa, apakah hujan. Hujan menjawab dengan
hujan. Dengan gemericik air, dengan gemertap di atap, dengan butir-butir dingin
dan segar yang bersambungan sampai langit.
***
Kini, dalam jenjang usia enam belas, bagian-bagian
tubuhnya elok membesar, bersama hati dan pikiran yang ikut berkembang. Dari
hujan ke hujan, hujan semakin membukakan diri selapis-selapis padanya. Dan ia
mulai semakin paham hujan. Lewat kaca jendela, ditatapnya hujan yang sedang
membukakan makna. Butir-butir air lebat bersama angin menyibakkan dedaunan di
halaman, dan pada dedaunan itu hujan menjadi dedaunan hujan. Deras hujan
meniti-niti pagar dan pada pagar itu ia menjadi pagar hujan.
Lihatlah, hujan meloncat-loncat dari ranting ke
ranting dan menjadi ranting hujan. Hujan pun berkisar dan mengusap-usap mawar,
dan pada mawar itu menjadi mawar hujan. Lantas, pada buah jambu hujan
menggelembung dan menjadi buah hujan.
Ayesha ingin memetik buah hujan tanpa menanggalkan
jambu. Ia ingin meraih mawar hujan tanpa mengganggu mawar halaman. Ia ingin
meniti dahan dan menyibak-nyibak ranting hujan tanpa mematahkan ranting dan
membebani dahan itu. Ia ingin berjingkat pada pagar hujan tanpa menginjak besi
pagar. Ia ingin, tapi ia tak mau membuka pintu melangkah ke luar dan masuk ke
dalam hujan.
“Buat apa? Bercakap-cakap dengan hujan, memetik
hujan, bukanlah harus berhujan-hujan. Engkau memetik makna ucapan orang,
tidaklah harus masuk ke mulut orang atau memetik lidahnya,” bilang Ayesha.
***
Dan ia pun kini paham, hujan di luar mengajak
bangkit hujan yang di dalam dirinya. Nyanyi hujan di atap, lambaian hujan pada
dedaunan, dan kaki-kaki hujan di halaman terus memanggil-manggil. Jangan engkau
bilang bunyi hujan. Hujan bukan sekadar gertap di kaleng Khong Guan, misalnya.
Bagi Ayesha, hujan adalah ucapan yang mendedah sastra, nyanyi, musik, atau
tari. Lihatlah, hujan menyibak-nyibakkan tarian pada dedaunan dan melantun
anggun pada dahan dan batang.
Terpagut pada tari hujan, Ayesha mulai bersijingkat
ke tengah ruangan dan segera melangkahkan tarian. Bagai angsa mengarungi
telaga, ia pun asyik melayarkan tari. Ah, tidak tepat benar seperti angsa.
Angsa tak pernah basah dengan tarian, sedangkan Ayesha melulu basah dengan tarian.
Namun, jika engkau cicip tengkuk atau sikunya, kau takkan merasakan asin
keringat di sana. Arena yang basah itu hujan.
Ia telah menjadi hujan sekarang. Ia menderas dari
pojok ke pojok ruangan menarikan hujan. Bila piroutte ia putarkan, hujanlah yang
memutarkan. Sesaat ia tegak tenang, membuat batang hujan dari lekuk tubuhnya
dan membiarkan rintik-rintik tari merajut-rajut rambut hujan di tengkuknya.
Lantas, jari-jemari kakinya meniti-niti tari sambil membiarkan tempias tari di
lantai. Maka, lantai ruangan ikut basah dengan tarian. Lihatlah, ia menekukkan
lutut dan tangan anggun tarinya memetik kuncup hujan yang perlahan-lahan
berkembang menjadi mawar hujan ke seluruh badan. Lalu, datanglah kupu-kupu
hujan dari negeri yang jauh menangkup telinganya, membuahinya dengan
rintik-rintik musik dari negeri kekal yang dekat sekaligus jauh.
Kini, Ayesha telah memiliki buah dan mawar hujan.
Sekarang ia telah sampai pada kematangan hujan. Jika tarinya membelai mawar
hujan, hujanlah yang membelaikannya. Bila ia memetik musik hujan, hujanlah yang
memetikkan
***
Dalam puncak hujan tarinya itu, tiba-tiba pintu
dibuka dari luar. Ayesha tersentak, dan putuslah tarian. Ibunya pulang dari
supermarket terperangah sesaat melihat lantai basah dan Ayesha yang tertegun
bagaikan patung yang masih menangkap sisa hujan.
Ibu memandang langit-langit. Kering, tak ada basah
di sana. Ia pun tersenyum, lantas ia letakkan plastik belanjaan di sofa dan
pergi mengambil handuk di kamar.
“Rupanya engkau mengembara lagi, Ayesha,” ujarnya sambil
mengelap tubuh anaknya yang masih terpancang diam dan menyimpan hujan. Dan
gumpalan jari-jemari katun handuk itu perlahan-lahan mengembalikan Ayesha pada
dunia yang kering kerontang.
A. Kajian Semiotik dalam Apresiasi Latar Cerpen “Hujan”
Dari
defenisi yang diungkapkan oleh Aart Van Zoest yang mengatakan bahwa semiotika
adalah ilmu tentang tanda-tanda dan segala yang berhubungan dengannya. Sehingga
Karya sastra dengan keutuhannya secara semiotik dapat dipandang sebuah tanda.
Sebagai suatu bentuk, karya sastra secara tertulis akan memiliki sifat
keruangan. Dimensi ruang dan waktu dalam sebuah cerita rekaan mengandung tabiat
tanda menanda yang menyiaratkan makna semiotik. Dari dua tataran (level) antara
mimetik dan semiotik (atau tataran kebahasaan dan mistis) sebuah karya sastra
menemukan keutuhannya untuk dipahami dan dihayati. Tanda dalam sebuah bahasa
mengacu pada suatu keadaan dalam cerita karya sastra. Salah satu jenis karya
sastra yang mengandung banyak tanda yaitu karya fiksi berbentuk prosa. Prosa
merupakan karya sastra yang bersifat naratif. Jenis prosa ada dua yaitu novel
dan cerita pendek. Pembeda dari novel dan cerita pendek hanyalah terletak dalam
panjang-pendek suatu cerita tersebut. Novel adalah bentuk karya sastra yang di
dalamnya terdapat nilai-nilai budaya sosial, moral, dan pendidikan. Cerita
Pendek merupakan suatu bentuk karya sastra yang juga terdapat nilai-nilai
budaya, sosial, moral, dan pendidikan secara terpusat. Cerita pendek yang
berjudul “Hujan” karya Sutarji Calzoum Bachri ini mengisahkan tentang seorang
gadis enam belas tahun yang begitu mencintai Hujan.
B. Apresiasi Latar pada cerita pendek “Hujan”
Latar
atau setting adalah penggambaran terjadinya peristiwa dalam sebuah cerita
meliputi tempat, waktu, sosial budaya, dan keadaan lingkungan . ada juga yang
mengartikan Latar adalah segala
keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, suasana,
dan situasi terjadinya peristiwa dalam cerita. Latar atau setting berfungsi
sebagai latar yang berisfat fisikal untuk membuat cerita menjadi logis. Latar
juga memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk
memberikan kesan realistis kepada pembaca menciptakan suasana tertentu yang
seolah olah sungguh – sungguh ada dan terjadi.
Pembaca cerpen “Hujan” dengan demikian merasa dipermudah untuk
mengoprasikan daya imajinasinya, di samping dimungkinkan untuk berperan serta
secara kritis sehubungan dengan pengetahuannya tentang latar. Pembaca cerpen
“Hujan” juga dapat merasakan dan menilai kebenaran, ketepatan, dan aktualisasi
latar yang diceritakan sehingga merasa lebih akrab. Latar dibedakan menjadi tiga macam yaitu : Latar tempat, latar waktu,
dan latar sosial.
1. Latar
Tempat
Latar
tempat, mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah
karya fiksi. Adapun latar tempat yang terdapat dalam cerpen Cerpen “Hujan”
karya Sutarji Calzoum Bachri ialah ruangan dalam rumah Ayesha. Hal ini dapat
kita lihat dari kutipan di bawah ini :
“ Terpagut pada tari
hujan, Ayesha mulai bersijingkat ke tengah ruangan dan segera melangkahkan
tarian.
Lantas, jemari-jemari
kakinya meniti-niti tari sambil membiarkan tempias tari di lantai. Maka, lantai
ruangan ikut basah dengan tarian.
Dalam puncak hujan
tariannya itu, tiba-tiba pintu di buka dari luar. Ayesa tersentak dan putuslah
tariannya”.
2. Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan
terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Adapun
latar waktu yang terdapat dalam cerpen Cerpen “Hujan” karya Sutarji Calzoum
Bachri ialah ketika Hujan. Hal ini dapat kita lihat dari kutipan dari alinea
pertama cerpen tersebut.
“Hujan menggelitik
pepohonan di halaman, membasuh dahan, menggertap di atap, dan membangunkan
Ayesha, gadis yang enam belas tahun yang tadinya nyenyak di kamar”.
3. Latar
Sosial
Latar
sosial, mengacu pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku sosial masyarakat
di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Latar sosial bisa mencakup
kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara
berpikir dan bersikap, serta status sosial. Adapun latar sosial kehidupan yang
terdapat dalam cerpen Cerpen “Hujan” karya Sutarji Calzoum Bachri ialah sebuah
kehidupan yang sederhana. Ini terlihat pada kutipan di bawah ini :
“Ibunya pulang dari
super market terperangah sesaat melihat lantai basah. Supermarket disini
menunjukkan keluarga ayesha adalah keluarga yang sederhana. Tidak kekurangan
atau sangat berkecukupan”.
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil analisis terhadap Cerpen “Hujan” karya Sutarji Calzoum Bachri ini, maka
saya dapat menyimpulkan bahwa Cerpen “Hujan” karya Sutarji Calzoum Bachri ini
mengisahkan tentang seorang gadis enam belas tahun yang begitu mencintai Hujan.
Dan di dalam cerpen “Hujan” ini pelatarannya lengkap sekali, karena ada latar
tempat, latar waktu dan latar sosial. Pelataran yang ada di cerpen ini juga
dijelaskan secara detail dan sangat jelas sehingga pembaca bisa mudah memahami
pelataran yang ada di dalam cerpen tersebut.
Daftar Pustaka
Nurgiyantoro, Burhan.
1994. Teori Pengkajian Fiksi
.Yogyakarta: Gajah Mada University Press.